oleh : KH. M ROMLI
وَعَنْهُ رضي الله عنهما قَالَ: كَانَ اَلْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما رَدِيفَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَتِ اِمْرَأَةٌ مَنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ اَلْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصْرِفُ وَجْهَ اَلْفَضْلِ إِلَى اَلشِّقِّ اَلْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ, إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا, لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَفْظُ لِلْبُخَارِيِّ. ـ بلوغ المرام كتاب الحج باب فضله وبيان من فرض عليه ـ
Dari padanya (Ibnu Abbas) -semoga Allah meridhai mereka berdua-ia berkata: Biasanya al-Fadl bin Abbas -semoga Allah meridhai mereka berdua- membonceng dengan Rasulullah saw., ketika itu seorang wanita dari suku Khats'am datang kepada beliau. Al-Fadhl memandang kepada wanita itu dan wanita itu memandang pula kepada al-Fadhl. Lalu Nabi saw memalingkan muka al-Fadhl ke jurusan yang lain. Wanita itu berkata: Ya Rasulullah, kefardhuan dari Allah bagi hamba-Nya tentang fardhu haji mengenai bapak saya dalam keadaan sudah tua, tidak bisa menunggangi kendaraan, Bolehkah saya mengerjakan haji baginya? Nabi saw bersabda : "Ya Boleh." Peristiwa ini terjadi ketika haji wada'. Muttafaq Alaihi, lafadz al-Bukhariy. Bulughul Maram, Kitab al-Hajji, Bab Fadhlih wa Bayan Man Furidha 'Alaih.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمَ إلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنَّ أَبِيْ أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيْرٌ لَا يَسْتَطِيْعُ رُكُوْبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ : أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ : أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيْكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ يُجْزِيْ ذَلِكَ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ : فَأحْجُجْ عَنْهُ. رواه أحمد والنسائي بمعناه. ـ نيل الأوطار كتاب المناسك، باب وجوب الحج على المغضوب إذا امكنته الإستنابة وعن الميت إذا كان قد وجب عليه ٤ : ٣١٩ ـ
Dan diterima dari Abdullah bin Az-Zubair, ia berkata : "Seorang laki-laki dari suku Khats'am mendatangi Rasulullah saw. Lalu ia berkata : "Islam datang kepada bapak saya di waktu ia sudah tua renta, tidak mampu berkendaraan, dan ibadah haji sudah wajib baginya. Bolehkah saya mengerjakan haji baginya?". Rasulullah saw bersabda : "Kamu anak yang terbesar?". Laki-laki itu menjawab : "Ya". Rasulullah saw bersabda : "Bagaimana menurut pandangan kamu kalau bapak kamu berhutang lalu kamu membayarnya, bolehkah itu?". Laki-laki itu menjawab : "Ya". Rasulullah saw bersabda : "Laksanakanlah haji baginya". HR. Ahmad dan an-Nasaiy. Nailul Authar, IV : 319, Kitab Al-Manasik, Bab Wujub Al-Hajj 'Ala Al-Maghdhub Idza Amkanathu Al-Istinabah wa 'Anil Mayyit Idza Kana Qad Wujiba 'Alaih.
Tentang "Menghajikan" orang yang sudah lanjut usia atau sakit, para ulama tidak sependapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
Ulama yang membolehkan, beristidlal dengan hadits tersebut di atas. Adapun yang tidak membolehkan, memandang hadits tersebut bertentangan dengan Al-Quran.
Sedangkan tentang orang yang melaksanakan niyabah haji tersebut, di kalangan yang membolehkan, ada dua pendapat.
Pendapat pertama : Ulama Kuffah membolehkannya walaupun orang tersebut belum melaksanakan haji. Mereka memandang keumuman hadits tersebut di atas.
Pendapat kedua : Jumhur Ulama membolehkannya, bila orang tersebut telah melaksanakan haji, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dari Ibnu Abbas.
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى رَجُلًا يُلَبِّي عَنْ شُبْرُمَةَ... ـ فتح الباري : ٤ : ٦٩ ـ
Berikut ini penulis tukil hadits tersebut dan takhrijnya :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ ﷺ سَمِعَ رَجُلًا يَقُوْلُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ فَقَالَ : مَنْ شُبْرُمَةَ؟ فَقَالَ: أَخِيْ أَوْ قَرِيْبٌ لِيْ. قَالَ: هَلْ حَجَجْتَ؟قَالَ: لَا، قَالَ: فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ. ـ صحيح ابن خزيمة تحقيق الدكتور محمد مصطفى الأعظمي، الجزء الرابع ص ٣٤٥ / ٣٠٣٩ ـ
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah saw mendengar seorang laki-laki berkata : "Labbaika 'An Syubrumah". Lalu beliau bertanya : "Siapakah Syubrumah?". Laki-laki itu menjawab : "Saudaraku atau kerabatku". Beliau bertanya : "Apakah kamu sudah haji?". Ia menjawab : "Belum". Beliau bersabda : "Jadikanlah haji ini bagimu, kemudian berhaji untuk Syubrumah". Shahih Ibnu Khuzaimah, Tahqiq Doktor Muhammad Mushthafa Al-A'zhamiy, IV : 345. No. 3039.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh :
- Imam Abu Dawud, II : 421
- Ibnu Majah, Hasyiyah As-Sindiy, II : 212. No. 2952
- Ibnu Hibban, Al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibni Hibban, VI : 120. No. 3977
- Ath-Thabraniy, Al-Mu'jam Al-Kabir, XII : 39. No. 12419, Ash-Shaghir, I : 220
- Ad-daraquthniy, II : 212. No. 2632
Mengenai sanad hadits tersebut tidak ittifaq tentang keshahihannya, ada khilafiyah tentang marfunya. Menurut Abdul Haqq dan Ibnul Qaththan, yang rajih tentang marfunya, tetapi menurut Ath-Thahawiy yang rajih mauqufnya dan menurut Ibnul Mundzir; tidak tsubut tentang marfunya. (Nailul Authar, IV : 327)
Menurut Asy-Syaukaniy, sanad hadits ini ada yang marfu' dan ada yang mauquf. (Nailul Authar, IV : 327)
Imam Ad-Daraquthniy mengatakan mauquf dalam periwayatannya, melalui jalan Ghondar, dari Sa'id bin Abi 'Arubah, dari Qatadah, dari 'Azrah, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas :
أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يُلَبِّيْ عَنْ شُبْرُمَةَ...
Bahwasanya Ibnu Abbas mendengar seorang laki-laki, yulabbi 'an Syubrumah... II : 212. No. 2638.
Dan dari jalan Yahya bin Shalih, dari Sa'id bin Abi 'Arubah, dari Qatadah, dari 'Azrah, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas. No. 2639.
Selain melalui dua jalan yang mauquf tersebut, Imam Ad-Daraquthniy juga meriwayatkan melalui jalan 'Abdah bin Sulaiman dan Muhammad bin Basyr, keduanya dari Sa'id bin Abi 'Arubah, dari Qatadah, dari dari 'Azrah, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas. No. 2632 dan 2637.
Periwayatan melalui jalan 'Abdah bin Sulaiman, selain Imam Ad-Daraquthniy, juga Imam Abu Dawud, II : 421, Imam Shalih Ibnu Khuzaimah, IV : 345, no. 3039, dan Imam Ath-Thabraniy, Al-Mu'jam Al-Kabir, XII : 34, no. 12419.
Jalan 'Abdah bin Sulaiman dan Muhammad bin Basyr inilah yang dipandang rajih tentang marfu'nya oleh Abdul Haqq dan Ibnul Qaththan.
Adapun para ulama yang tidak membolehkan niyabah haji, beralasan : Hadits tersebut di atas bertentangan dengan zhahir Al-Quran ayat 97 surat Ali Imran dan ayat 39 surat An-Najm.
(وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَیۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَیۡهِ سَبِیلࣰاۚ) ـ ال عمران : ٩٧ ـ
(وَأَن لَّیۡسَ لِلۡإِنسَـٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ) ـ النجم : ٣٩ ـ
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ : رَأَى مَالِكٌ أَنَّ ظَاهِرَ حَدِيْثِ الْخَثْعَمِيَّةِ مُخَالِفٌ لِظَاهِرِ الْقُرْآنِ فَرُجِّحَ ظَاهِرُ الْقُرْآنِ
Al-Qurthubiy berkata : "Imam Malik memandang (berpendapat) bahwa zhahir hadits al-khats'amiyyah bertentangan (menyalahi) zhahir Al-Quran, maka yang kuat adalah zhahir Al-Quran". Fathul Bariy, IV : 70.
Sebagian ulama Malikiyyah berpendapat bahwa ibadah haji itu termasuk ibadah badaniyyah seperti halnya ibadah shalat. Oleh karena itu tidak boleh niyabah haji sebagaimana tidak boleh niyabah shalat. Sebagiannya lagi berpendapat boleh kalau ada washiyat. (Fathul Bariy, IV : 68). Dan di antara yang berpendapat tidak boleh niyabah haji, beralasan dengan riwayat perkataan Ibnu Umar :
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ خَالِدٍ اَلْأَحْمَرُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : لَا يَحُجُّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَا يَصُوْمُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ. ـ المصنف الجزء الثالث ص ٣٦١/ ١٥١١٧ ـ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yahya bin Sa'id dari Nafi' dari Ibnu Umar, ia berkata : "Tidak boleh seseorang menghajikan orang lain, dan tidak boleh seseorang melaksanakan shaum untuk orang lain".
Jawaban yang berpendapat boleh niyabah haji atas alasan-alasan tersebut :
Istitha'ah bagi ibadah haji ada dua, badan dan mal.
Bagi orang yang istitha'ah badan dan mal, ia sendiri berhaji. Adapun yang badannya tidak istitha'ah -lanjut usia atau sakit-, tetapi segi malnya istitha'ah, maka boleh niyabah haji baginya. Sebagaimana orang berkata, saya istitha'ah -mampu- membangun rumah atau membuat pakaian. Maksudnya istitha'ah memberi upah kepada orang yang membangun rumah atau membuat pakaian baginya. (Shahih Ibnu Khuzaimah, IV : 341).
Zhahir Al-Quran -An-Najm : 39-, menunjukkan umum, hadits yang ada di bab ini merupakan kekhususan dari keumuman ayat tersebut. Oleh sebab itu antara zhahir Al-Quran -An-Najm : 39- dengan hadits ini tidak bertentangan. (Nailul Authar, IV : 320).
Allah Azza wa Jalla memimpin Nabi-Nya dengan wahyu untuk menjelaskan hukum baik yang umum atau yang khusus. Maka dengan sabdanya itu, Nabi saw menjelaskan bahwa dengan firman-Nya : "wa an laisa lil insani illa ma sa'a", Allah tidak bermaksud bahwa yang demikian itu semua amal. (Shahih Ibnu Khuzaimah, IV : 341).
Haji diqiyaskan kepada shalat, tidak sah, sebab ibadah haji ibadah maliyah dan badaniyyah, sedangkan shalat ibadah badaniyyah. Oleh karena itu tidak bisa disamakan antara haji dengan shalat. (Fathul Bariy, IV : 69).
Ibadah haji tidak bisa disamakan dengan ibadah shalat, shaum dan ibadah badaniyyah lainnya, yang pada ibadah-ibadah tersebut tidak boleh niyabah. (Bulughul Amaniy, XI : 27)
Keputusan Dewan Hisbah :
Tentang menghajikan orang yang sudah lanjut usia. Setelah memperhatikan :
1. Makalah yang disampaikan oleh KH. M Romli dan KH. Usman Sholehuddin serta makalah yang disampaikan Mahasiswa Persis Kairo di Mesir tentang masalah tersebut.
2. Pembahasan yang disampaikan oleh seluruh anggota sidang Dewan Hisbah
Menimbang :
1. Ibadah haji diwajibkan hanya kepada mereka yang istitha'ah (QS. Ali Imran : 97).
2. Bahwa setiap manusia akan menerima dari apa yang diusahakannya sendiri (QS. An-Najm : 39).
3. Bahwa berbuat baik kepada orang tua hukumnya wajib.
4. Bahwa hadits-hadits tentang niyabatul hajji bagi orang tua yang lanjut usia, sakit, dan wafat dari segi sanadnya shahih.
5. Hadits tentang niyabatul hajji bagi saudara / kerabat tidak ada ittifaq tentang keshahihannya.
6. Hadits tentang niyabatul hajji bagi orang lain yang bukan keluarga sama sekali tidak ditemukan haditsnya.
Maka Dewan Hisbah mengambil kesimpulan :
1. Menghajikan untuk orang lain baik yang masih hidup atau yang sudah mati terlarang.
2. Seorang anak yang berangkat ibadah haji dengan maksud menggantikan haji orang tuanya tidak boleh / terlarang.
3. Seorang anak yang melaksanakan ibadah haji termasuk wujud birrul walidain.
Sumber : RISALAH NO. 12 TH. XXXVIII PEBRUARI 2001